SEMOGA INFORMASI INI BERGUNA BUAT ANDA

02 Februari 2009

Asas Legalitas

Asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek
van Straftrecht (WvS). Asas legalitas pada dasarnya menghendaki: (i) peruatan yang
dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (ii) peraturan tersebut
harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum,
nulla poena sine praevia lege poenali telah mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat
dalam Pasal 1 Rancangan KUHP berikut ini:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan
analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa.
Sebagian ahli hukum pidana menganggap bahwa pengaturan tersebut merupakan perluasan
dari asas legalitas. Tetapi, sebagian lagi menganggap pengaturan tersebut sebagai
kemunduran, terutama bunyi Pasal 1 ayat (3). Akibatnya, timbul perdebatan di antara para
yuris Indonesia, bahkan yuris Belanda. Perdebatan ini seolah mengulang perdebatan lama
ketika Kerajaan Belanda akan memberlakukan KUHP di Hindia Belanda, yaitu apakah
akan diberlakukan bagi seluruh lapisan masyarakat di Hindia Belanda atau tidak.1 Namun,
Van Vollenhoven menentang keras jika KUHP diberlakukan juga kepada pribumi.
Pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP kontradiktif dengan Pasal 1 ayat (2) yang
melarang penggunaan analogi. Padahal Pasal 1 ayat (3), menurut Prof. Andi Hamzah,
merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang
sama sekali tidak terdapat dalam hukum pidana. Selanjutnya, menurut Prof. Andi Hamzah,
1 Pada saat itu masyarakat Hindia Belanda dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: Eropa, Timur
Asing, dan Pribumi.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 4
pelarangan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) lebih pada recht analogi, yaitu analogi terhadap
perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.
Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP, bisa saja seseorang dapat dituntut
dan dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat, walaupun perbuatan tersebut
tidak dinyatakan dilarang dalam perundang-undangan. Padahal, seharusnya asas legalitas
merupakan suatu safeguard bagi perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi
manusia, yang menghendaki adanya batasan terhadap penghukuman terhadap seseorang.
Selain itu, hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law) sangat luas
pengertiannya. Tercakup di situ antara lain hukum adat, hukum kebiasaan, hukum lokal,
bahkan bisa jadi hukum lain yang dianggap hidup dalam masyarakat, seperti pemberlakuan
Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam.
Melalui pemaparan di atas, setidaknya terdapat dua masalah penting yang perlu dibahas,
yaitu: masalah asas legalitas dan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Dari pokok
masalah tersebut, ada beberapa permasalahan yang muncul, antara lain:
 Apakah pengaturan asas legalitas dalam Rancangan KUHP tidak bertentangan secara
konseptual dengan asas legalitas itu sendiri;
 Apabila asas legalitas dalam Rancangan KUHP itu diterima, apa akibat yang dapat
timbul dalam tatanan hukum pidana;
 Apakah akibat yang dapat timbul dengan diakomodasinya ‘The Living Law’ ke dalam
asas legalitas; dan
 Bagaimana seharusnya ‘The Living Law’ ditempatkan dalam tatanan hukum, perlukah
ia diformalkan dalam undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar