SEMOGA INFORMASI INI BERGUNA BUAT ANDA

20 Juli 2009

Bank Syariah Menjadi Pilihan Lembaga Keuangan

Eksistensi Bank Syariah di Indonesia secara formal telah dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun, harus diakui bahwa undang-undang tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah karena masih menggunakan istilah Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut belum sesuai dengan cakupan pengertian Bank Syariah yang relatif lebih luas dari Bank Bagi Hasil. Karena pengertian Bank Syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bertransaksi secara Islam. Bank Syariah dalam menjalankan operasionalnya atau bertransaksi tidak hanya berdasarkan bagi hasil saja melainkan juga didasarkan prinsip transaksi lainnya yang memang berlandaskan ajaran islam, seperti jual beli, persewaan, gadai dan lain sebagainya. Sedangkan pengertian Bank Bagi Hasil itu sendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil adalah bank yang operasionalnya hanya didasarkan atas bagi hasil saja dan tidak diikuti oleh prinsip operasional lainnya. Disamping itu, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank syariah.

Amandemen terhadap Undang-Undang No. 7 tahun 1992 yang melahirkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan) yang segera diikuti dengan diterbitkannya sejumlah ketentuan operasional dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Karena dalam undang-undang tersebut telah disebutkan secara jelas tentang keberadaan Bank Syariah, yakni dalam Pasal 1 angka (3) dan (4), yang tidak lagi disebutkan sebagai Bank Bagi Hasil melainkan Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Islam. Selain itu juga untuk menindak lanjuti ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan yang khusus mengatur tentang Bank Syariah, yaitu Suarat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR/1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Syariah.

Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004 (selanjutnya disebut Undang-Undang Bank Indonesia) juga menugaskan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional Bank Syariah. Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Bank Indonesia tersebut selanjutnya menjadi dasar hukum bagi keberadaan dual banking system di Indonesia. Dual banking system yang dimaksud adalah adanya dua sistem perbankan yaitu konvensional dan syariah secara berdampingan dalam memberikan pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Krisis ekonomi yang terjadi sejak akhir 1997 membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut ditopang oleh karakteristik operasi Bank Syariah yang melarang bunga, transaksi yang bersifat tidak transparan dan spekulatif. Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional yang pada gilirannya juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang.

Pentingnya pengaturan perbankan syariah didasarkan pada pertimbangan bahwa Bank Syariah merupakan bagian dari sistem perbankan yang mempunyai sejumlah perbedaan dibandingkan dengan bank konvensional. Perbankan syariah yang menerapkan sistem bagi hasil yang secara otomatis adanya penanggungan risiko kerugian bersama baik di pihak bank maupun debitur, memang dilahirkan untuk mengisi kelemahan perbankan konvensional selama ini. Penulis sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh pengamat hukum Perbankan, terhapat lima hal kelemahan bank konvensional yang secara tidak langsung timbul atau dihasilkan oleh penerapan sistem bunga. Walaupun keberadaan perbankan konvensional jauh lebih tua, ternyata bank konvensioanal tidak dapat berbuat banyak terhadap efek dari penerapan sistem bunga tersebut. Kelima kelemahan bank konvensional tersebut meliputi:
1. Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis. Sebab, dalam bisnis, hasil dari setiap perusahaan selalu tidak pasti. Peminjam sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui walaupun perusahaannya mungkin rugi. Meskipun perusahaan untung, bisa jadi bunga yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya. Hal ini jelas bertentangan dengan norma keadilan.

2. Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan bunganya. Oleh sebab itu, demi keamanan, mereka hanya mau meminjamkan dana bagi bisnis yang sudah benar-benar mapan dan sukses, sementara mereka yang memiliki potensi tertahan untuk memulai usahanya. Ini menyebabkan tidak seimbangnya pendapatan dan pemerataan kesejahteraan.

3. Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan kebangkrutan. Hal ini berdampak pada hilangnya potensi produktif masyarakat secara keseluruhan, selain dengan pengangguran sebagian besar orang.

4. Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil. Para pengusaha kecil yang tidak memiliki simpanan dana memadai akan selalu takut melakukan inovasi baru bagi dunia usahanya, karena ia kuatir bila inovasi itu gagal, maka ia harus mengembalikan utang berikut bunganya yang memberatkan.

5. Dalam sistem bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga mereka.

Berkaca pada lima kelemahan tersebut, perbankan syariah yang berbasis bagi hasil yang menolak sistem bunga, bermaksud benar-benar menjembatani kegiatan perekonomian secara transparan dan seimbang, yang selama ini kurang diperhatikan oleh perbankan konvensional. Dalam sistem perbankan konvensional, selain berperan sebagai jembatan antara pemilik dana dan dunia usaha, perbankan juga masih menjadi penyekat antara keduanya karena tidak adanya distribusi secara adil risiko dan keuntungan. Tidak demikian halnya perbankan syariah, di mana ia menjadi manajer investasi, wakil atau pemegang amanat dari pemilik dana atas investasi di sektor riil. Dengan demikian, seluruh keberhasilan dan risiko dunia usaha atau pertumbuhan ekonomi secara langsung didistribusikan kepada pemilik dana sehingga menciptakan suasana saling percaya.

Para nasabah harus mampu mengetahui dan membedakan kelebihan dari bank syariah terhadap bank konvensional terutama dari produk yang ditawarkan seperti sistem bagi hasil (mudharabah) atau (musyarakah) jual beli (murabahah) persewaan biaya administrasi dan lain-lain.

Prinsip bagi hasil profit sharing merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah bagi hasil (al-mudharabah). Berdasarkan prinsip ini, bank syariah akan berfungsi sebagai mitra terhadap nasabah, baik penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai ‘pengelola’, sedangkan penabung bertindak sebagai ’penyandang dana’. Antara keduanya diadakan perjanjian bagi hasil (akad mudharabah) yang menyatakan pembagian keuntungan masing-masing pihak.

Disisi lain, dengan pengusaha atau peminjam dana, bank syariah akan bertindak sebagai penyandang dana, baik yang berasal dari tabungan/deposito/giro maupun dana bank sendiri berupa modal pemegang saham. Sementara itu, pengusaha atau peminjam akan berfungsi sebagai pengelola karena melakukan usaha dengan cara memutar dan mengelola dana bank.

Dengan demikian dalam perbankan syariah, si penabung merupakan mitra bank sekaligus investor bagi bank itu. Sebagai investor ia berhak menerima hasil investasi bank itu. Hasil yang diperoleh penabung naik dan turun secara proporsional, mengikuti perolehan banknya. Muamalah berdasarkan konsep kemitraan dan kebersamaan dalam untung (profit) dan rugi (risk) itu akan lebih mewujudkan ekonomi yang lebih adil dan transparan karena masing-masing pihak mengetahui kondisi yang sebenarnya, apakah bank atau pihak pengelola mendapatkan keuntungan atau kerugian. Misalnya dalam hal bagi hasil, apabila keuntungan tinggi maka bagi hasil pun semakin tinggi, demikian juga berlaku sebaliknya jika keuntungan sedang rendah sehingga bagi hasil pun mengalami penurunan. Inilah salah satu bentuk dari keadilan dan transparansi konsep kemitraan perbankan syariah. Keunggulan lainnya terletak pada bagaimana dana penabung dimanfaatkan, dalam artian bahwa dana dari penabung dimanfaatkan pada bidang-bidang usaha yang jelas dan halal yang didasarkan atas prinsip-prinsip pengelolaan dengan sistem bagi hasil, jual beli, ataupun sewa. Selain itu dalam pemanfaatan dana penabung oleh Bank Syariah, pihak penabung dapat menentukan pada usaha-usaha apa saja dananya dapat diinvestasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar