SEMOGA INFORMASI INI BERGUNA BUAT ANDA

07 April 2009

KONSEP BISNIS WARALABA, HUKUM KONVENSIONAL VS HUKUM ISLAM

Ijtihad sebagai sumber hukum islam memberi peluang berkembangnya pemikiran umat islam dalam menghadapi segala persoalan di era globalisasi. Berbagai jenis transaksi muali muncul guna memnuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak jenis transaksi baru yang menjanjikan keuntungan yang berlipat ganda dengan cara yang mudah dan simple. Di samping itu, terdapat pula peraturan perudang-undangan yang mengatur tentang transaksi ekonomi era modern ini yang dikeluarkan oleh otoritas pemerintah sebagai upaya penertiban transaksi ekonomi yang ada dan berkembang di masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama islam. Oleh karena mayoritas masyarakat di Indonesia beragama islam, maka hukum positif (ius contitutum) yang mengatur hal tersebut harus pula dikaji kejelasannya menurut hukum islam.

Akhir-akhir ini, kita sering mendengar kata waralaba/franchising, transaksi bisnis yang bertaraf franchise kini mulai marak karena selain biaya murah dan bahan sudah disediakan juga tidak terlalu memakan tempat yang begitu luas. Banyak model-model faranchising yang kini muncul disekitar kita, seperti makanan cepat saji ayam goring ala KFC, akan tetapi harganya di bawah KFC dan sebagainya. Disamping usaha yang demikian ternyata ada juga sistem waralaba/franchising yang menggunakan cara network marketing. Ini adalah sistem pemasaran yang menggunakan sistem costumer referal program, dimana masing-masing franchese dapat memiliki hak usaha dengan menjadi anggotanya hanya dengan modal yang sangat kecil.
Menurut pasal 1 PP No. 16 Tahun 1997 tentang tata cara pelaksanaan pendaftaran waralaba, pengertian waralaba (franchisee) adalah : “perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau cirri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang atau jasa”.Pada dasarnya Franchisee adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang atau jasa di bawah nama identitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan oleh franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap franchise, sebagai imbalannya franchisee membayar jumlah uang berupa initial fee dan royalty.
Kalau dalam hukum islam, waralaba dengan model ini hampir serupa dengan model syirkah mudharabah (bagi hasil), tapi sedah mengalami perkembangan seiring berkembangnya zaman dan terdapat gabungan dengan jenis syirkah lainnya. Syirkah (persekutuan) dalam hukum islam banyak sekali jenisnya dan terdapat perbedaan oleh para imam madzhab. Dan perlu diketahui bahwa dalam pola transaksi yang diatur oleh hukum islam adalah menitikberatkan pada sisi moralitas yang lebih tinggi dari pada apapun.
Pada dasarnya dalam system waralaba terdapat tiga komponen yaitu : pertam, franchisor, yaitu pihak yang memiliki system atau cara-cara dalam berbisnis. Kedua, franchisee, yaitu pihak yang membeli franchise atau system dari franchisor sehingga memiliki hak untuk mejalankan bisnis dengan cara-cara yang dikembangkan oleh franchisor. Ketiga, franchise, yaitu system dan cara-cara bisnis itu sendiri, ini merupakan pengetahuan atau spesifikasi usaha dari franchisor yang dijual kepada franchise.Waralaba dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu waralaba merek dan produk dagang (product and trade franchise) dan waralaba format bisnis (business format franchise). Dalam Waralaba merek dagang dan produk, pemberi waralaba memberikan hak kepada penerima waralaba untuk menjual produk yang dikembangkan oleh Pemberi waralaba disertai dengan izin untuk menggunakan merek dagangnya. Atas pemberian izin pengunaan merek dagang tersebut pemberi waralaba mendapatkan suatu bentuk byaran royalty di muka, dan selajutnya dia juga mendapat keuntungan dari penjualan produknya. Misalnya: SPBU menggunakan nama/merek dagang PERTAMINA.
Sedangkan waralaba format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi oleh seorang kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada penerima waralaba untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang atau nama dagang pemberi waralaba dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih menjadi terampil dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya. Waralaba format bisnis ini erdiri dari :
- konsep bisnis yang menyeluruh dari Pemberi waralaba.
- Adanya proses permulaan da pelatihan atas seluruh aspek pengelolaan bisnis, sesuai dengan konsep pemberi waralaba.
- Proses bantuan dan bimbingan terus-menerus dai pihak pemberi waralaba.
Dalam bisnis franchise ini, yang dapat diminta dari franchisor oleh franchisee dalah sebgai berikut:
- brand name yang meliputi logo, peralatan dan lain-lain.
- System dan manual operasional bisnis.
- Dukungan dalam beroperasi. Karena franchisor lebih mempunyai pengalaman luas.
- Pengawasan (monitoring). Untuk memastikan bahwa system yang disediakan dijalankan dengan baik dan benar scara konsisten.
- Penggabungan promosi/joint promotion, hal ini berkaitan dengan brand name.
- Pemasokan, ini berlaku bagi franchise tertentu, misalnya bagi franchisor yang merupakan supplier bahan makanan/minuman. Kadang franchisor juga memasok mesin-mesin atau peralatan yang diperlukan.
Franchisor yang baik biasanya ikut membantu franchisee untuk mendapatkan sumber dana modal dari investor (fund supply) seperti bank misalnya, meskipun itu jarang sekali.
Perjanjan waralaba adalah perjanjian formal. Hal tersebut dikarenakan perjanjian waralaba memang disyaratkan pada pasal 2 PP no. 16 Tahun 1997 untuk dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai perlindungan bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian waralaba.
Secara umum dikenal adanya dua macam atau jenis kompensasi yang dapat diminta oleh pemberi waralaba (franchisor) dari penerima waralaba (franchisee). Pertama, konpensasi langsung dalam bentuk moneter (Direct monetary compensation) adalah lump sum payment dan royalty. Lump sum payment adalah suatu jumlah uang yang telah dihitung terlebih dahulu yang wajib dibayarkan oleh Penerima waralaba (franchisee) pada saat persetujuan pemberian waralaba disepakati. Sedangkan royalty adalah jumlah pembayaran yang dikaitkan dengan suatu presentasi tertentu yang dihitung dari jumlah produksi dan/atau penjualan barang da/atau jasa yang diproduksi atau dijual berdasarkan perjanjian, baik disertai dengan ikatan suatu jumlah minimum atau maksimum jumlah royalty tertentu atau tidak.
Kedua, kompensasi tidak langsung dalam bentuk nilai moneter (indirect and nonmenetary compensation). Meliputi antara lain keuntungan sebagai aibat dari penjualan barang modal atau bahan mentah, yang merupakan satu paket dengan pemberian waralaba, pembayaran dalam bentuk deviden ataupun bunga pinjaman dalam hal pemberi waralaba juga turut memberikan bantuan financial, baik dalam bentuk ekuitas atau dalam wujud pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang, cost shifting atau pengalihan atas sebagian biaya yang harus dikeluarkan oleh pemberi waralaba, perolehan data pasar dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh penerima lisensi dan lain sebagainya.
Menurut pasal 3 ayat 1 PP no. 16 Tahun 1997, bahwa pemberi waralaba sebelum mengadakan perjanjian dengan penerima waralaba wajib menyampaikan keterangan-keterangan antara lain mengenai, nama pihak pemberi waralaba, hak atas kekayaan intelektual, persyaratan-persyaratan, bantuan dan fasilitas, hak dan kewajiban, pengakhiran, pembatalan dan perpanjangan perjanjian.
Untuk menciptakan system bisnis waralaba yang islami, diperlukan system nilai syariah sebagai filter moral bisnis yang bertujuan untuk menghindari berbagai penyimpangan bisnis (moral Hazard), yaitu Maysir (spekulasi), Asusila, Gharar (penipuan), Haram, Riba, Ikhtikar (penimbunan/monopoli), Dharar (berbahaya).Dalam hukum islam, kerja sama dalam hal jual beli dinamakan syirkah. Syirkah dibagi menjadi 3 bentuk yaitu :
1. Syirkah ibahah, yaitu : persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang.
2. Syirkah amlak (milik), yaitu : persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda, syirkah amlak dibagi menjadi 2 :
3. Syirkah akad, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian. Syirkah akad dibagi menjadi empat (4), yaitu :
- Syirkah amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta.
- Syirkah a’mal, yaitu perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi menjadi dua.
- Syirkah wujuh, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar.
- Syirkah mudharabah, yaitu kemitraan (persekutuan) antara tenaga dan harta, seorang (supplier) memberikan hartanya kepada pihak lain (pengelola) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi menurut kesepakatan kedua belah pihak. Dasarnya bentuk mudharabah adalah peminjaman uang untuk keperluan bisnis.Syirkah mudharabah ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu mudharabah mutlaqah dalam hal ini pemodal memberikan hartanya kepada pelaksana untuk dimudharabahkan dengan tidak menentukan jenis kerja, tempat dan waktu serta orang. Sedangkan mudharabah muqayyadah (terikat suatu syarat), adalah pemilik modal menentukan salah satu dari jenis di atas.
Bila diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan waralaba (franchising) dapat dikemukakan bahwa perjanjian itu sebenarnya merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama (syirkah). Hal ini disebabkan karena dengan adanya perjanjian franchising, maka secara otomatis antara franchisor dan franchisee terbentuk hubungan kerja sama untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan bagi kedua belah pihak. Dalam waralaba diterpkan prinsip keterbukaan dan kehati-hatian, hal ini sesuai dengan prinsip transaksi dalam islam yaitu gharar (ketidakjelasan).Bisnis waralaba ini pun mempunyai manfaat yang cukup berperan dalam meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari segi kemashlahatan usaha waralab ini juga bernilai positif sehingga dapat dibenarkan menurut hukum islam. Terdapat beberap indikasi di atas yang menyatakan bahwa secara garis besar system transaksi franchising ini diperbolehkan oleh hukum islam, tapi apakah hal tersebut telah ada atau telah dibahas detail dalam hukum islam? Untuk mengarah lebih lanjut penulis di bawah ini mencoba menganalisa sekilas perbandingan hukum positif di atas dengan hukum islam yang telah khususnya syirkah.
Suatu waralaba adalah bentuk perjanjian kerja sama (syirkah) yang sisinya memberikan hak & wewenang khusus kepada pihak penerima. Waralaba merupakan suatu perjanjian timbale balik, karena Pemberi waralaba (franchisor) maupun Penerima waralaba (franchisee) keduanya berkewajiabn untuk memenuhi prestasi tertentu. Setelah pemaparan yang panjang lebar mengenai franchising di atas, terdapat persamaan dan perbedaan franchising menurut hukum islam dan hukum positif.
Persamaannya adalah Pertama, franchising adalah kerjasama (syirkah) yang saling menguntungkan, berarti franchising memang dapat dikatakan kategori dari syirkah dalam hukum islam. Kedua, terdapat prestasi bagi penerima waralaba, hal ini sama dengan syirkah mudharabah muqayyadah. Ketiga, terdapat barang, jasa dan tenaga memenuhi salah satu syarat syirkah. Keempat, terdapat 2 orang atau lebih yang bertransaksi, sepakat, hal tertentu, ditulis (dicatat) dan oleh sebab tertentu sesuai dengan syarat akad, khususnya syirkah mudharabah.
Diatas telah dijelaskan bahwa franchising lebih hampir serupa dengan syirkah jenis mudharabah. Adapun perbedaannya terletak pada, Pertama, dalah syirkah mudharabah, modal harus berupa uang, tidak boleh barang. Sedangkan dalam franchising modal dapat dibantu oleh franchisor baik uang, barang atau tenaga professional. Kedua, dalam franchising terdapat kerja sama dalam bidang hak kekayaan intelektual (HAKI), yaitu merek dagang. Dan dalam hukum islam hal tersebut termasuk syirkah amlak (hak milik). Ketiga, tidak bolehnya kerja sama dalam hal berjualan barang haram, sedangkan dalam hukum positif tidak terdapat pembatasan terhadap hal tersebut, misal transaksi jual-beli babi atau anjing.
Dengan demikian waralaba (franchising) dapat dikategorikan ke dalam perkembangan syirkah mudharabah jenis muqayadah dimana pihak Penerima waralaba (franchisee) terikat oleh peraturan-peraturan yang diberikan oleh Pemberi waralaba atau dalam syirkah mudharabah disebut dengan pemberi modal. Perkembangannya adalah masuknya hak milik atau HAKI ke dalam transaksi, mungkin hal ini dapat dimasukkan syirkah ikhtiyariyah secara garis besar. Akan tetapi yang menjadi catatan disini, meskipun franchising ini diperbolehkan dengan alasan perkembangan syirkah, dalam waralaba harus mengikuti prinsip dasar transaksi dalam hukum islam dan barang yang dibuat untuk transaksi tidak bertentangan dengan syara’ atau barang-barang/hewan yang diharamkan untuk diperjualbelikan dalam islam.

UPAH DAN PESANGON BURUH

Pada pertengahan tahun 2006 kontroversi mengenai revisi Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Revisi UU ini diharapakan untuk memperbaiki iklim investasi dan ekonomi bangsa Indonesia pasca krisis. Meski revisi UU ini tak seheboh RUU Antipornografi dan Pornoaksi, tapi sudah melibatkan tripartite (pemerintah, pengusaha dan buruh). Hubungan industrial yang kurang sehat dengan banyaknya demo para buruh, khususnya mengenai upah dinilai oleh sebagian pengusaha merupakan kerugian yang besar. Dan pemberian upah yang minim tanpa mempertimbangkan kebutuhan ekonomi buruh dinilai sebagian besar buruh sebagai penindasan dan pelecehan terhadap sumbangsih kinerjanya.Paradigma dasar inilah yang saat ini terus berkembang. Meski tujuan revisi UU ketenagakerjaan dimaksudkan untuk menciptakan hubungan industrial yang baik dan harmonis antara pekerja dan pengusaha yang mengarah kepada kemitraan dan menarik masuknya investasi. Akan tetapi pandangan buruh sebagai pekerja di perusahaan tidak sepenuhnya seperti itu. Revisi UU ini hanya dimaksudkan untuk memasung hak-hak buruh. Oleh karena itu pembahasan revisi UU ketenagakerjaan sampai saat ini masih a lot.Urgensi permaslahan ini terletak pada 4 masalah yaitu, outsourcing, Upah buruh, Pesangon dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Penetapan upah buruh yang sudah desentralisasi tergantung dengan daerah masing-masing memang sebuah terobosan yang sinkron dengan era otonomi daerah. Akan tetapi hal ini bisa saja menimbulkan persoalan baru, karena dapat timbul perasaan iri antar buruh antar daerah satu dengan daerah yang lainnya. Oleh karena itu perlu metode dan konsep penetapan upah yang sesuai dengan masing-masing daerah yang ada di Indonesia.Pasca ditolaknya revisi UU ketenagakerjaan oleh sebagian besar anggota DPR RI dan DPD, Pemerintah mengalihkan perhatiannya dengan membuat peraturan perundang-undangan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Rencana PP ini mengatur 4 klausul controversial di atas, khususnya mengenai pesangon. Perubahan pelembagaan dalam pemberian pesangon merupakan terobosan pemerintah untuk menghindari perusahan-perusahan yang bangkrut kemudian pesangon tidak dibayarkan kepada buruh, akhirnya buruh pengangguran dan tidak dapat pesangon dari perusahaan.Pembayaran pesangon yang sebelumnya diamanatkan kepada masing-masing perusahaan akan dialihkan kepada PT Jamsostek. Dengan pengalihan ini diharapkan pengusaha membayar pesangon pekerjanya kepada PT Jamsostek tiap bulan yang berasal dari pemotongan upah buruh. Upaya ini diprediksi dapat mengantisipasi supaya pesangon buruh tetap terbayar apabila perusahaan bangkrut atau pailit. Hal ini merupakan peningkatan jaminan social bagi tenaga kerja.Upah dan pesangon buruh selalu dijadikan kambing hitam bagi tidak sehatnya iklim investasi di Indonesia. Memberi kesan bahwa, seolah-olah hanya upah dan pesangon yang menjadi penyebab tidak sehatnya iklim investasi, padahal masih banyak factor yang mepengaruhi iklim investasi, seperti bidang perpajakan, bea cukai, prosedur birokrasi yang berbelit-belit khususnya mengenai perijinan dan sebagainya. Kedudukan upah dan pesangon sebagai sarana penunjang kesejahteraan buruh disamping jaminan social yang lain merupakan ruang lingkup yang cukup luas, apabila dihubungkan dengan peningkatan produktivitas sebuah perusahaan. Banyak factor untuk meningkatkan produktivitas antara lain, kebijakan pemerintah, hubungan industrial yang baik, manjemen perusahaan yang bagus, keselamatan dan kesehatan pekerja, sarana produksi dan teknologi, upah & pesangon, jamsostek, keamanan, dan peningkatan sumber daya manusia dalam hal ini buruh atau pekerja dengan pendidikan, pelatihan, motivasi kerja, sikap mental dan fisik.Factor-faktor di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lainnya dalam peningkatan produktivitas. Di antara factor-faktor di atas yang sering menjadi pemicu kontroversi atau hubungan bipatrit (pengusaha dengan pekerja) yang tidak sehat adalah upah dan pesangon. Karena upah dan pesangon ini sangat erat hubungannya dengan harga produksi dan penambahan atau pengurangan tenaga kerja (buruh). Hal inilah yang dilematis dalam hubungan industrial khususnya hubungan bipatrit. Penetapan upah dan pesangon yang terkadang kurang mempertimbangkan factor ekonomi dari buruh menimbulkan reaksi yang keras dari buruh. Begitu juga sebaliknya penetapan upah dan pesangon yang terlalu memanjakan buruh dapat menjadi boomerang bagi pengusaha dan ujung-ujungnya PHK dan pengangguran dimana-mana. Maka diperlukan pertimbangan-pertimbangan khusus dalam menetapkan upah dan pesangon, supaya hubungan industrial bipatrit membaik dan kondusif.